Wednesday, March 20, 2013

Studi Pakan Bekantan di CA Teluk Adang

Studi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Sungai Kuaro,
Cagar Alam Teluk Adang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur

Oleh : Hardani  dan Danang Anggoro *)
Cagar Alam Teluk Adang merupakan salah satu habitat penting untuk bekantan (Nasalis larvatus) di Kalimantan Timur. Kawasan Cagar Alam Teluk Adang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan  oleh Gubernur  Kalimantan Timur  No 46/1982,  tanggal 1 Maret Tahun 1982, dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 24 /Kpts/Um/1/1983, tanggal 15 Januari 1983. Kawasan ini telah ditata batas oleh Sub-Biphut Balikpapan pada tahun 1992 dengan dengan panjang batasnya 129.830 km. Surat keputusan Menteri Pertanian tersebut diperbaharui dengan penunjukkan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts.II/2001 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur. Kekhasan kawasan ini berdasarkan kajian awalnya adalah ekosistem hutan mangrove yang sangat bagus. Selain ekosistem hutan mangrove terdapat beberapa tipe ekosistem lainnya.
Terdapat 3 (tiga) tipe ekosistem utama yang ada di dalam kawasan yaitu hutan mangrove, hutan rawa dan hutan hujan tropika dataran rendah (hutan dataran rendah). Tipologi ekosistem yang menjadi habitat utama bekantan adalah hutan mangrove. Tebal hutan mangrove ini berkisar antara 20 – 300 m tergantung pengaruh pasang surut air laut. Komposisi penyusun  hutan mangrove di Cagar Alam Teluk Adang terdiri dari 23 jenis mangrove sejati dan 10 jenis mangrove ikutan. Habitat bekantan di hutan mangrove tersebut menyebar di beberapa lokasi. Biasanya satwa ini hidup berkelompok di hutan yang masih bagus dan belum banyak terganggu. Bekantan merupakan jenis satwa liar yang dilindungi oleh peraturan di Indonesia.  
Upaya perlindungan dan konservasi satwa liar di Indonesia sudah dilakukan sejak  jaman penjajahan Belanda,. Salah satu contohnya yaitu pada tahun 1931 Pemerintahan Hindia Belanda menerbitkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 (Lembar Negara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No. 513). Diantara primata yang dilindungi adalah bekantan (Nasalis larvatus), semua jenis gibbon (Hylobates spp) dan Orang utan (Pongo pygmaeus). Secara nasional bekantan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 sebagai turunan dari Undang Undang nomor 5 tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Kemudian secara Internasional bekantan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti sebagai jenis satwa yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan.  Selain itu sejak tahun 2000 jenis satwa liar ini dimasukkan dalam kategori endangered species dalam Red Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).
Upaya peningkatan konservasi satwa liar yang dilindungi juga terus dilakukan. Mulai dari pengelolaan kawasan konservasi sebagai habitat satwa yang dilindungi, pengelolaan populasi sampai dengan penelitian ekologi. Salah satu aspek ekologi yang penting adalah pakan. Pakan merupakan salah satu kaidah utama dalam mempelajari habitat satwa liar. Keberadaan pakan yang akan menjamin keberadaan satwa tersebut di suatu lokasi. Tingkat kecukupan pakan juga sangat berpengaruh terhadap populasi satwa dan menjadi indikator kesehatan habitat satwa tersebut. Satwa memilih pakan yang tersedia di lapangan. Beberapa pakan lebih dipilih dan disukai dibanding pakan lain walaupun ketersediaannya sama (Medin, 1968). Untuk mengetahui tingkat kesukaan satwa pada pakan, Bhadresa (1987) membandingkan kelimpahan jenis pakan di lapangan dan dalam feses. Kelimpahan direpresentasikan dengan kerapatan dan frekuensi kehadiran pakan.Pakan yang cukup, bisa membantu meningkatkan perkawinan yang pada akhirnya bisa meningkatkan populasi (Sutherland, 2000).
Studi pakan bekantan sudah banyak dilakukan. Alikodra, 1997 meneliti pakan bekantan di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Febri, 2009, meneliti habitat Bekantan termasuk pakannya, di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Soendjoto dkk (2005), meneliti tingkat seleksi pakan bekantan di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Bismark (1994) melakukan penelitian ekologi bekantan, termasuk studi pakan di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa pakan bekantan berbeda-­beda tergantung pada habitatnya. Pakan bekantan yang dominan di ekosistem rawa dan hutan dataran rendah adalah Ganua motleyana, Syzygium leucoxylon (Febri, 2009). Di hutan karet, pakan bekantan yang dominan adalah karet (Hevea brasiliensis), kujamas (Syzygium stapfiana), dan tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii) (Soendjoto dkk, 2005). Di daerah pertanian dan hutan bakau, ditemukan sedikitnya 22 tumbuhan pakan, seperti Ardisia humilis, Syzigium lineatum, Syzygium sp dan Soneratia caseolaris (Alikodra, 1997).
Teknik yang digunakan untuk kajian pakan satwa liar pun pun bermacam-macam. Scan Technique (Alikodra, 1997), pengamatan perilaku populasi dan data sekunder (Febri, 2009) dan Individu Acitivity Record of Feeding (Soendjoto dkk, 2005) adalah contoh metode yang digunakan untuk meneliti pakan bekantan. Selain teknik tersebut, ada juga metode analisa kotoran. Metode analisa kotoran telah dipakai untuk meneliti pakan beberapa jenis satwa, seperti kanguru (Storr, 1960), Lutung (Yuliani,1990), Rusa Bawean (Nurvianto, 2005) dan Anoa (Punajingsih, 2009). Kelemahan metode ini adalah dalam menemukan kotoran satwa terutama untuk jenis-jenis pemalu dan tinggal di habitat yang sulit. Keunggulan metode ini adalah bahwa kotoran lebih mencerminkan apa yang benar-benar dimakan satwa. Selain itu juga memberikan tantangan untuk melakukan analisa jenis tumbuhan pakan yang sudah tercerna. Studi mengenai pakan bekantan di Cagar Alam Teluk Adang dilakukan di habitat bekantan yang berada di Sungai Kuaro. Pengamatan langsung dan pengumpulan sample dimulai dari bulan Oktober 2011 sampai dengan Desember 2011. Kemudian dilakukan analisa kotoran dan identifikasi jenis tumbuhan pakan dari sample kotoran yang ditemukan melalui analisa laboratorium yang cukup panjang pada tahun 2012.
Secara rinci studi terhadap pakan bekantan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pengamatan langsung dan analisa kotoran. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengamati perilaku makan bekantan. Aktifitas bekantan diamati sejak mulai beraktifitas dari pagi sampai dengan sore hari. Jenis tumbuhan yang dimakan dicatat. Jika jenis tumbuhan belum diketahui maka dibuat herbarium untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Analisa kotoran dilakukan dengan cara membandingkan pecahan epidermis dalam feses dan epidermis daun dalam wilayah jelajah bekantan. Pengumpulan sampel kotoran dilakukan pada lokasi tidur bekantan. Analisa epidermis dilakukan dengan metode pencernaan asam nitrat (nitric acid digestion method) yang telah dikerjakan oleh Storr (1960). 
Dari hasil pengamatan dan analisa kotoran bekantan yang didapatkan dari kelompok bekantan di Sungai Kuaro, dapat teridentifikasi beberapa jenis tumbuhan  sebagai pakan bekantan seperti yang tercantum pada tabel 1 dibawah ini. Jenis pakan bekantan yang teridentifikasi melalui pengamatan di lapangan saja sebanyak 2 (dua) jenis, sedangkan dari analisa kotoran sebanyak 7 (tujuh) jenis dan teridentifikasi dengan kedua metode tersebut sebanyak 4 (empat) jenis. Dari jenis – jenis pakan yang teridentifikasi tersebut tersebut, 7 (tujuh) jenis terdapat di habitat hutan mangrove, 5 (lima) jenis dari hutan dataran rendah dan jenis pakan teridentifikasi yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut sebanyak 1 (satu) jenis.

Tabel 1. Daftar jenis tumbuhan pakan bekantan yang ditemukan dan teridentifikasi 
Keterangan : AK : Hasil dari analisa kotoran PL : Hasil dari pengamatan perilaku makan di lapangan HB : Hutan Mangrove HDR : Hutan Dataran Rendah
Jenis-jenis pakan bekantan di lokasi penelitian sesuai dengan hasil penelitian Yeager (1989), Alikodra (1997), Bismark (1995), Bismark (2003), Soendjoto dkk (2001) dan Soendjoto (2006). Sedangkan dari studi literatur yang dilakukan, jenis banitan (Mezzetia umbelata) dan mangga (Mangifera litoralis) belum tercatat pada penelitian sebelumnya.
Syzygium sp1 dan Syzygium sp2 disukai oleh bekantan di lokasi penelitian. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan gizinya yang mencukupi dan kurang mengandung tanin (Soendjoto dkk, 2006). Tanin mempengaruhi penyerapan protein, sehingga sedapat mungkin dihindari oleh satwa. Genus Syzigium banyak  dilaporkan sebagai tumbuhan pakan (Soendjoto dkk, 2006; Yeager, 1989; Alikodra, 1997; Atmoko, T dan Sidiyasa, K. 2008). Soendjoto dkk (2006) menyebutkan bahwa jenis Syzygium stapfiana mengandung tanin 0,0122%, protein 9,8%, lemak 3,4%, energi 3,940 kal/gram dan beberapa mineral esensial. Daun Syzigium polyanthum diketahui juga mengandung vitamin A, C dan E (Engriyani, 2011).
Mezzetia umbelata banyak mengandung gizi namun kadar taninnya rendah dibanding jenis – jenis vegetasi bakau. Hal ini yang mungkin menyebabkan jenis ini lebh disukai dibanding dengan jenis vegetasi bakau. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, jenis ini merupakan jenis yang baru tercatat sebagai tumbuhan pakan.
Soneratia alba, Avicennia lanata dan Rhizopora mucronata disamping mengandung banyak gizi, jenis ini mengandung tanin yang cukup besar (Bismark, 1994; Rusila Noor dkk, 1999). Tetapi bekantan mempunyai mekanisme dalam pencernaannya yang mampu menetralisir tanin ini. Menurut Davies dan Oates (1994), monyet kelompok colobine mempunyai 2 (dua) cara menetralisir toksin yang ada dalam pakan mereka, yaitu detoksifikasi (mengeluarkan racun dari dalam tubuh) dan bantuan mikroba dalam pencernaan mereka. Detoksifikasi juga kadang dilakukan dengan memakan tanah. Namun demikian, bekantan juga berusaha mengurangi efek racun tanin dengan tidak memakan seluruh bagian daun yang mengandung tanin dan membuang sebagian daun yang dimakan (Soendjoto, dkk, 2006).
Gluta renghas, Rhizopora apiculata dan Ceriop decandra tidak disukai oleh bekantan. Bekantan tidak menyukai Gluta Renghas kemungkinan karena bagian-bagian tanamannya, seperti kulit batang, getah dan kayu banyak mengandung racun yang bisa menyebabkan iritasi hebat dan kelumpuhan (Copriady dkk, 2002). Bekantan tidak menyukai Rhizopora apiculata dan Ceriop decandra karena walaupun cukup mengandung gizi, namun kadar taninnya juga tinggi (Bismark, 1994; Abdullah, 2011; Rusila Noor dkk, 1999). Leinmüller et al. (1991) melaporkan tentang dampak toksik tanin, yaitu pengurangan nafsu makan dan kehilangan berat tubuh.
Walaupun tidak disukai, kelimpahan epidermis Rhizopora apiculata dan Ceriop decandra dalam feses cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut banyak dimakan oleh bekantan sehingga bisa disebut sebagai makanan pokok bekantan.
Banyaknya kedua jenis ini dimakan dan ditemukan melimpah dalam feses kemungkinan disebabkan karena:
1.    Jumlahnya yang melimpah di habitatnya. Dengan jumlahnya yang melimpah, maka persentase kemungkinan konsumsinya lebih tinggi dari jenis lain.
2.    Tingkat persaingan yang rendah. Daun kedua jenis ini mengandung tanin yang tinggi sehingga tidak ada satwa mamalia lain yang dilaporkan memakan daun kedua vegetasi ini. Karena persaingan yang rendah maka bekantan kemungkinan besar memakan jenis ini karena energi yang dikeluarkan untuk mendapatkan pakan ini lebih rendah dibandingkan dengan energi yang akan diperoleh dari pakan. Sehingga lebih efisien dalam pengeluaran energi.
3.   Sistem pencernaan bekantan mampu menetralisir tanin dengan bantuan bakteri. Menurut Davies dan Oates (1994), monyet kelompok Colobine bisa menetralisir toksin yang ada dalam pakan mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu detoksifikasi (mengeluarkan racun dari dalam tubuh) dan bantuan mikroba dalam pencernaan mereka. Detoksifikasi juga kadang dilakukan dengan memakan tanah.
Dari hasil studi pakan tersebut dapat diketahui preferensi jenis-jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan di Cagar Alam Teluk Adang. Dengan informasi tersebut dapat dikembangkan menjadi masukan untuk menyusun strategi upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan Bekantan dan habitatnya di Cagar Alam Teluk Adang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 2011. Potensi Bakau Rhizopora apiculata sebagai inhibitor Tirosinase dan Antioksidan. Thesis. IPB. Bogor
Atmoko, T dan Sidiyasa, K. 2008. Karakteristik vegetasi Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.V No.4:307-316, 2008.
Bhadresa, R. 1987. Rabbit Grazing: Study in a Grassland Community Using Faecal Analysis and Exclosure. Field Studies 6 (1987).657-684.
Bismark, M. 1994. Ekologi Makan dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai. Disertasi. IPB. Bogor
BKSDA Kaltim. 2011. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah. Cagar Alam Teluk Adang. Samarinda
Boonratana, R. 2000. Ranging Behavior of Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Northern Borneo. International Journal of Primatology 21: 497518. Cambrige, Massachusetts.
Copriady, Jimmi ; Miharty dan Herdini. 2002. Gallokatekin: Senyawa Flavonoid Lainnya dari Kulit Batang Rengas (Gluta renghas Linn.). Jurnal Natur Indonesia.
Davies A. Glyn and Oates, John F. 1994. Colobine Monkeys: Their Ecology, Behaviour and Evolution. Cambridge University Press. New York
IUCN. 2001. www.iucnredlist.org, akses September 24, 2011.
Leinmüller, E., H. Steingass and K. Menke. 1991. Tannins in Ruminant Feedstuffs. Animal Research Development 33: 9-62
Matsuda,I .2010. Effects of Water Level on Sleeping-site Selection and Inter-group Association in Proboscis Monkeys: Why Do They Sleep Alone Inland on Flooded Days?. The Ecological Society of Japan. Res (2010) 25: 475–482
Matsuda,I. Tuuga,A dan Higashi,S. 2009 . Ranging Behavior of Proboscis Monkeys in a Riverine Forest with Special Reference to Ranging in Inland Forest. Int J Primatol 30:313–325.
Medin,Dean.E.1968. Stomach Content Analysis: Collection from Wild Herbivores and Birds. Range and Wildlife Habitat Evaluation -A research symposium
Meijaard, E and Nijman, V. 1999. Distribution and Conservation of the Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation. 92 (2000) 15-24.
Rachmawan, D. 2006. Populasi dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Sungai Kendilo Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Skripsi. IPB. Bogor.
Ross,Matt.2012. Seasonal Habitat Requirements of White-tailed Deer: An Overview. www.whitetailstewards.com . (diakses pada Juni 2012).
Saidah, Marsono,D.,Sulthoni,A. 2002. Studi Vegetasi Habitat Alternatif Bekantan (Nasalis larvatus) di Barito Kuala Kalimantan Selatan. Jurnal Agrosains. 15 (1).
Soendjoto, M. A., M. Akhdiyat, M. Haitami, I. Kusumajaya. 2001. Bekantan di Hutan Galam : Quo Vadis. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (1) : 18-19.
Soendjoto,MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H . 2006. Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Jurnal Biodiversitas Volume 7 No : 1.
Soerianegara, I.D. Sastradipradja, H.S. Alikodra dan M.Bismarck. 1994. Studi Habitat Sumber Pakan dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai parameter Ekologi dalam mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat hutan Mangrove di taman Nasional Kutai. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Storr,G.M.. 1960. Microscopic Analysis of Faeces, A Technique for Ascertaining The Diet of Herbivorous, Mammal. Zoology Department, University of Western Australia, Nedlands, W.A.
Strauss, Richard E. 1979. Reliability Estimates for Ivlev’s Electivity Index, the Forage Ratio, and a Proposed linier Index of Food Selection. Transaction of the Amreican Fisheries Society 108:344-352. Pennsylvania.
Supriatna, J. and E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yeager,  C.P.  1989. Feeding  Ecology of  the  Proboscis  Monkey (Nasalis larvatus). International Journal of Primatology 10 (6): 497-530.
Yeager,C.P.1990. Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Sosial Organization Group Structure. Am. J. of Primatology 20:95-106.

(Hardani/197706012001121002/PEH Pertama ; di-edit oleh Danang Anggoro)