Studi Pakan Bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb) di Sungai Kuaro,
Cagar Alam Teluk Adang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur
Oleh : Hardani dan Danang Anggoro *)
Cagar Alam Teluk Adang
merupakan salah satu habitat penting untuk bekantan (Nasalis larvatus)
di Kalimantan Timur. Kawasan Cagar Alam Teluk Adang ditunjuk berdasarkan Surat
Keputusan oleh Gubernur Kalimantan Timur No 46/1982, tanggal 1 Maret
Tahun 1982, dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian
nomor 24 /Kpts/Um/1/1983, tanggal 15 Januari 1983. Kawasan ini telah ditata batas oleh Sub-Biphut Balikpapan
pada tahun 1992 dengan dengan panjang batasnya 129.830 km. Surat keputusan Menteri Pertanian tersebut
diperbaharui dengan penunjukkan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 71/Kpts.II/2001 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan
Timur. Kekhasan kawasan ini berdasarkan kajian awalnya adalah ekosistem hutan
mangrove yang sangat bagus. Selain ekosistem hutan mangrove terdapat beberapa
tipe ekosistem lainnya.
Terdapat 3 (tiga) tipe ekosistem
utama yang ada
di dalam kawasan yaitu hutan
mangrove, hutan rawa dan hutan hujan tropika dataran rendah (hutan dataran
rendah). Tipologi ekosistem yang menjadi habitat utama bekantan adalah hutan
mangrove. Tebal hutan mangrove ini berkisar antara 20 – 300 m
tergantung pengaruh pasang surut air laut. Komposisi penyusun
hutan mangrove di Cagar Alam Teluk Adang terdiri dari 23 jenis mangrove
sejati dan 10 jenis mangrove ikutan. Habitat bekantan di hutan mangrove tersebut
menyebar di beberapa lokasi. Biasanya satwa ini hidup berkelompok di hutan yang
masih bagus dan belum banyak terganggu. Bekantan merupakan jenis satwa liar yang
dilindungi oleh peraturan di Indonesia.
Upaya perlindungan dan konservasi
satwa liar di Indonesia sudah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda,. Salah satu
contohnya yaitu pada tahun 1931 Pemerintahan Hindia Belanda menerbitkan
Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 (Lembar Negara 1931 No. 226 jis 1932
No. 28 dan 1935 No. 513). Diantara primata yang dilindungi adalah bekantan (Nasalis
larvatus), semua jenis gibbon (Hylobates spp) dan Orang utan (Pongo
pygmaeus). Secara nasional bekantan dilindungi berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 7 tahun 1999 sebagai turunan dari Undang Undang nomor 5
tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Kemudian secara
Internasional bekantan termasuk dalam Appendix
I CITES (Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti sebagai
jenis satwa yang sama sekali tidak boleh diperdagangkan. Selain itu sejak tahun 2000 jenis satwa liar
ini dimasukkan dalam kategori endangered
species dalam Red Book IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources).
Upaya peningkatan konservasi satwa liar
yang dilindungi juga terus dilakukan. Mulai dari pengelolaan kawasan konservasi
sebagai habitat satwa yang dilindungi, pengelolaan populasi sampai dengan
penelitian ekologi. Salah satu aspek ekologi yang penting adalah pakan. Pakan
merupakan salah satu kaidah utama dalam mempelajari habitat satwa liar.
Keberadaan pakan yang akan menjamin keberadaan satwa tersebut di suatu lokasi.
Tingkat kecukupan pakan juga sangat berpengaruh terhadap populasi satwa dan
menjadi indikator kesehatan habitat satwa tersebut. Satwa memilih pakan yang
tersedia di lapangan. Beberapa pakan lebih dipilih dan disukai dibanding pakan
lain walaupun ketersediaannya sama (Medin, 1968). Untuk mengetahui tingkat
kesukaan satwa pada pakan, Bhadresa (1987) membandingkan kelimpahan jenis pakan
di lapangan dan dalam feses. Kelimpahan direpresentasikan dengan kerapatan dan
frekuensi kehadiran pakan.Pakan yang cukup, bisa membantu meningkatkan
perkawinan yang pada akhirnya bisa meningkatkan populasi (Sutherland, 2000).
Studi pakan bekantan sudah banyak
dilakukan. Alikodra, 1997 meneliti pakan bekantan di Samboja Koala, Kalimantan
Timur. Febri, 2009, meneliti habitat Bekantan termasuk pakannya, di Taman
Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Soendjoto dkk (2005), meneliti
tingkat seleksi pakan bekantan di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan. Bismark (1994) melakukan penelitian ekologi bekantan, termasuk studi pakan
di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa pakan
bekantan berbeda-beda tergantung pada habitatnya. Pakan bekantan yang dominan
di ekosistem rawa dan hutan dataran rendah adalah Ganua motleyana, Syzygium
leucoxylon (Febri, 2009). Di hutan karet, pakan bekantan yang
dominan adalah karet (Hevea brasiliensis), kujamas (Syzygium stapfiana),
dan tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii) (Soendjoto dkk, 2005). Di
daerah pertanian dan hutan bakau, ditemukan sedikitnya 22 tumbuhan pakan,
seperti Ardisia humilis, Syzigium lineatum, Syzygium sp dan Soneratia
caseolaris (Alikodra, 1997).
Teknik yang digunakan untuk kajian
pakan satwa liar pun pun bermacam-macam. Scan
Technique (Alikodra, 1997), pengamatan perilaku populasi dan data sekunder
(Febri, 2009) dan Individu Acitivity
Record of Feeding (Soendjoto dkk, 2005) adalah contoh metode yang digunakan
untuk meneliti pakan bekantan. Selain teknik tersebut, ada juga metode analisa
kotoran. Metode analisa kotoran telah dipakai untuk meneliti pakan beberapa
jenis satwa, seperti kanguru (Storr, 1960), Lutung (Yuliani,1990), Rusa Bawean
(Nurvianto, 2005) dan Anoa (Punajingsih, 2009). Kelemahan metode ini adalah
dalam menemukan kotoran satwa terutama untuk jenis-jenis pemalu dan tinggal di
habitat yang sulit. Keunggulan metode ini adalah bahwa kotoran lebih
mencerminkan apa yang benar-benar dimakan satwa. Selain itu juga memberikan
tantangan untuk melakukan analisa jenis tumbuhan pakan yang sudah tercerna. Studi
mengenai pakan bekantan di Cagar Alam Teluk Adang dilakukan di habitat bekantan
yang berada di Sungai Kuaro. Pengamatan langsung dan pengumpulan sample dimulai
dari bulan Oktober 2011 sampai dengan Desember 2011. Kemudian dilakukan analisa
kotoran dan identifikasi jenis tumbuhan pakan dari sample kotoran yang
ditemukan melalui analisa laboratorium yang cukup panjang pada tahun 2012.
Secara rinci studi terhadap pakan bekantan
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pengamatan langsung dan analisa kotoran.
Pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengamati perilaku makan bekantan.
Aktifitas bekantan diamati sejak mulai beraktifitas dari pagi sampai dengan
sore hari. Jenis tumbuhan yang dimakan dicatat. Jika jenis tumbuhan belum
diketahui maka dibuat herbarium untuk selanjutnya diidentifikasi di
laboratorium. Analisa kotoran dilakukan dengan cara membandingkan pecahan
epidermis dalam feses dan epidermis daun dalam wilayah jelajah bekantan. Pengumpulan
sampel kotoran dilakukan pada lokasi tidur bekantan. Analisa epidermis
dilakukan dengan metode pencernaan asam nitrat (nitric acid digestion method) yang telah dikerjakan oleh Storr
(1960).
Dari hasil pengamatan dan analisa kotoran bekantan
yang didapatkan dari kelompok bekantan di Sungai Kuaro, dapat teridentifikasi
beberapa jenis tumbuhan sebagai pakan
bekantan seperti yang tercantum pada tabel 1 dibawah ini. Jenis pakan bekantan
yang teridentifikasi melalui pengamatan di lapangan saja sebanyak 2 (dua)
jenis, sedangkan dari analisa kotoran sebanyak 7 (tujuh) jenis dan
teridentifikasi dengan kedua metode tersebut sebanyak 4 (empat) jenis. Dari jenis
– jenis pakan yang teridentifikasi tersebut tersebut, 7 (tujuh) jenis terdapat
di habitat hutan mangrove, 5 (lima) jenis dari hutan dataran rendah dan jenis
pakan teridentifikasi yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut sebanyak 1
(satu) jenis.
Tabel 1. Daftar jenis tumbuhan pakan bekantan yang
ditemukan dan teridentifikasi
Keterangan : AK : Hasil dari analisa kotoran PL
: Hasil dari pengamatan perilaku makan di lapangan HB : Hutan Mangrove HDR :
Hutan Dataran Rendah
Jenis-jenis
pakan bekantan di lokasi penelitian sesuai dengan hasil penelitian Yeager (1989),
Alikodra (1997), Bismark (1995), Bismark (2003), Soendjoto dkk (2001) dan
Soendjoto (2006). Sedangkan dari studi literatur yang dilakukan, jenis banitan
(Mezzetia umbelata) dan mangga (Mangifera litoralis) belum
tercatat pada penelitian sebelumnya.
Syzygium sp1 dan Syzygium sp2 disukai oleh
bekantan di lokasi penelitian. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan
gizinya yang mencukupi dan kurang mengandung tanin (Soendjoto dkk, 2006). Tanin
mempengaruhi penyerapan protein, sehingga sedapat mungkin dihindari oleh satwa.
Genus Syzigium banyak dilaporkan sebagai
tumbuhan pakan (Soendjoto dkk, 2006; Yeager, 1989; Alikodra, 1997; Atmoko, T
dan Sidiyasa, K. 2008). Soendjoto dkk (2006) menyebutkan bahwa jenis Syzygium
stapfiana mengandung tanin 0,0122%, protein 9,8%, lemak 3,4%, energi 3,940
kal/gram dan beberapa mineral esensial. Daun Syzigium polyanthum diketahui
juga mengandung vitamin A, C dan E (Engriyani, 2011).
Mezzetia umbelata banyak mengandung gizi namun kadar
taninnya rendah dibanding jenis – jenis vegetasi bakau. Hal ini yang mungkin
menyebabkan jenis ini lebh disukai dibanding dengan jenis vegetasi bakau.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, jenis ini merupakan jenis yang baru
tercatat sebagai tumbuhan pakan.
Soneratia alba, Avicennia lanata dan Rhizopora mucronata disamping
mengandung banyak gizi, jenis ini mengandung tanin yang cukup besar (Bismark,
1994; Rusila Noor dkk, 1999). Tetapi bekantan mempunyai mekanisme dalam
pencernaannya yang mampu menetralisir tanin ini. Menurut Davies dan Oates
(1994), monyet kelompok colobine mempunyai 2 (dua) cara menetralisir toksin
yang ada dalam pakan mereka, yaitu detoksifikasi (mengeluarkan racun dari dalam
tubuh) dan bantuan mikroba dalam pencernaan mereka. Detoksifikasi juga kadang
dilakukan dengan memakan tanah. Namun demikian, bekantan juga berusaha
mengurangi efek racun tanin dengan tidak memakan seluruh bagian daun yang
mengandung tanin dan membuang sebagian daun yang dimakan (Soendjoto, dkk,
2006).
Gluta renghas, Rhizopora apiculata dan Ceriop decandra tidak
disukai oleh bekantan. Bekantan tidak menyukai Gluta Renghas kemungkinan
karena bagian-bagian tanamannya, seperti kulit batang, getah dan kayu banyak
mengandung racun yang bisa menyebabkan iritasi hebat dan kelumpuhan (Copriady
dkk, 2002). Bekantan tidak menyukai Rhizopora apiculata dan Ceriop
decandra karena walaupun cukup mengandung gizi, namun kadar taninnya juga
tinggi (Bismark, 1994; Abdullah, 2011; Rusila Noor dkk, 1999). Leinmüller et
al. (1991) melaporkan tentang dampak toksik tanin, yaitu pengurangan nafsu
makan dan kehilangan berat tubuh.
Walaupun tidak disukai, kelimpahan
epidermis Rhizopora apiculata dan Ceriop decandra dalam feses
cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut banyak dimakan oleh
bekantan sehingga bisa disebut sebagai makanan pokok bekantan.
Banyaknya kedua jenis ini dimakan dan
ditemukan melimpah dalam feses kemungkinan disebabkan karena:
1.
Jumlahnya yang melimpah di habitatnya. Dengan jumlahnya yang
melimpah, maka persentase kemungkinan konsumsinya lebih tinggi dari jenis lain.
2.
Tingkat persaingan yang rendah. Daun kedua jenis ini
mengandung tanin yang tinggi sehingga tidak ada satwa mamalia lain yang
dilaporkan memakan daun kedua vegetasi ini. Karena persaingan yang rendah maka
bekantan kemungkinan besar memakan jenis ini karena energi yang dikeluarkan
untuk mendapatkan pakan ini lebih rendah dibandingkan dengan energi yang akan
diperoleh dari pakan. Sehingga lebih efisien dalam pengeluaran energi.
3. Sistem pencernaan bekantan mampu menetralisir tanin dengan
bantuan bakteri. Menurut Davies dan Oates (1994), monyet kelompok Colobine bisa
menetralisir toksin yang ada dalam pakan mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan
2 (dua) cara, yaitu detoksifikasi (mengeluarkan racun dari dalam tubuh) dan
bantuan mikroba dalam pencernaan mereka. Detoksifikasi juga kadang dilakukan
dengan memakan tanah.
Dari hasil studi pakan tersebut dapat diketahui
preferensi jenis-jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan di Cagar Alam Teluk
Adang. Dengan informasi tersebut dapat dikembangkan menjadi masukan untuk
menyusun strategi upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan Bekantan dan
habitatnya di Cagar Alam Teluk Adang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah.
2011. Potensi Bakau Rhizopora apiculata sebagai inhibitor Tirosinase dan
Antioksidan. Thesis. IPB. Bogor
Atmoko, T dan
Sidiyasa, K. 2008. Karakteristik vegetasi Habitat Bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol.V No.4:307-316, 2008.
Bhadresa, R.
1987. Rabbit Grazing: Study in a Grassland Community Using Faecal Analysis and
Exclosure. Field Studies 6 (1987).657-684.
Bismark, M.
1994. Ekologi Makan dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di
Hutan Bakau Taman Nasional Kutai. Disertasi. IPB. Bogor
BKSDA Kaltim. 2011. Rencana
Pengelolaan Jangka Menengah. Cagar Alam Teluk Adang. Samarinda
Boonratana, R.
2000. Ranging Behavior of Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus) in the
Lower Kinabatangan, Northern Borneo. International Journal of Primatology 21:
497518. Cambrige, Massachusetts.
Copriady,
Jimmi ; Miharty dan Herdini. 2002. Gallokatekin: Senyawa Flavonoid Lainnya dari
Kulit Batang Rengas (Gluta renghas Linn.). Jurnal Natur Indonesia.
Davies A. Glyn
and Oates, John F. 1994. Colobine Monkeys: Their Ecology, Behaviour and Evolution.
Cambridge University Press. New York
IUCN. 2001. www.iucnredlist.org,
akses September 24, 2011.
Leinmüller,
E., H. Steingass and K. Menke. 1991. Tannins in Ruminant Feedstuffs. Animal
Research Development 33: 9-62
Matsuda,I
.2010. Effects of Water Level on Sleeping-site Selection and Inter-group
Association in Proboscis Monkeys: Why Do They Sleep Alone Inland on Flooded Days?.
The Ecological Society of Japan. Res (2010) 25: 475–482
Matsuda,I. Tuuga,A
dan Higashi,S. 2009 . Ranging Behavior of Proboscis Monkeys in a Riverine
Forest with Special Reference to Ranging in Inland Forest. Int J Primatol
30:313–325.
Medin,Dean.E.1968.
Stomach Content Analysis: Collection from Wild Herbivores and Birds. Range and
Wildlife Habitat Evaluation -A research symposium
Meijaard, E
and Nijman, V. 1999. Distribution and Conservation of the Proboscis Monkey (Nasalis
larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation. 92 (2000)
15-24.
Rachmawan, D.
2006. Populasi dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di
Sungai Kendilo Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Skripsi. IPB.
Bogor.
Ross,Matt.2012.
Seasonal Habitat Requirements of White-tailed Deer: An Overview. www.whitetailstewards.com
. (diakses pada Juni 2012).
Saidah,
Marsono,D.,Sulthoni,A. 2002. Studi Vegetasi Habitat Alternatif Bekantan (Nasalis
larvatus) di Barito Kuala Kalimantan Selatan. Jurnal Agrosains. 15 (1).
Soendjoto, M. A.,
M. Akhdiyat, M. Haitami, I. Kusumajaya. 2001. Bekantan di Hutan Galam : Quo
Vadis. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (1) : 18-19.
Soendjoto,MA,
Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H . 2006. Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan
(Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan. Jurnal Biodiversitas Volume 7 No : 1.
Soerianegara,
I.D. Sastradipradja, H.S. Alikodra dan M.Bismarck. 1994. Studi Habitat Sumber
Pakan dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai parameter Ekologi
dalam mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat hutan Mangrove di taman Nasional
Kutai. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Storr,G.M..
1960. Microscopic Analysis of Faeces, A Technique for Ascertaining The Diet of
Herbivorous, Mammal. Zoology Department, University of Western Australia,
Nedlands, W.A.
Strauss,
Richard E. 1979. Reliability Estimates for Ivlev’s Electivity Index, the Forage
Ratio, and a Proposed linier Index of Food Selection. Transaction of the
Amreican Fisheries Society 108:344-352. Pennsylvania.
Supriatna, J.
and E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Yeager, C.P.
1989. Feeding Ecology of the
Proboscis Monkey (Nasalis
larvatus). International Journal of Primatology 10 (6): 497-530.
Yeager,C.P.1990. Proboscis Monkey (Nasalis larvatus)
Sosial Organization Group Structure. Am. J. of Primatology 20:95-106.
(Hardani/197706012001121002/PEH
Pertama ; di-edit oleh Danang
Anggoro)